Serigala Terakhir
Serigala Terakhir membawa banyak hal yang menjanjikan. Mulai dari sang sutradara, Upi – yang pernah membesut Radit dan Jani serta Realita Cinta dan Rock n Roll yang tergolong sensasional – Vino G.Bastian, aktor muda bertalenta, hingga tema cerita gangster yang tidak biasa. Bagaimana hasilnya?
Dibuka dengan atmosfir ceria kelima sahabat yang sedang bernyanyi riang gembira, disusul adegan kejar-kejaran karena bentrok dengan geng lainnya, hingga tawuran seru di bawah jembatan yang harus berakhir karena datangnya polisi.
Semuanya baik-baik saja, sampai suatu saat kebahagiaan itu harus berakhir. Jarot harus dipenjara dan menerima perlakuan tidak setia kawan dari para sahabatnya, juga perlakuan kejam para napi selama Jarot di dalam tahanan. Keceriaan di wajah Jarot pun sirna dan berganti dengan kemuraman wajah dingin yang kejam. Perasaan terkhianati membuat Jarot akhirnya menyebrang ke pihak lawan, Naga Hitam.
Masalah mulai timbul di sini. Jarot bertemu kembali dengan cinta lamanya, Aisyah, adik Ale. Hubungan sembunyi-sembunyi pun mereka jalankan. Semakin memperkeruh keadaan, geng Ale kini betul-betul punya konflik dengan geng Jarot, perdagangan narkoba.
Tidak cukup sampai di situ, adik Jarot, Yani, ternyata adalah seorang penyanyi di klub malam, ayah Jarot sakit, dan yang membuat kerusuhan terbesar, adik Lukman menjadi pecandu narkoba langganan Jarot – dan meninggal. Konflik antar geng memanas, dan terjadilah pertumpahan darah.
Tema cerita gangster menjadi unik lantaran Indonesia tidaklah terkenal akan gangster atau mafia nya, sehingga penampilan geng Naga Hitam pun dibuat layaknya gangster-gangster Cina. Warna merah dan hitam serta gambar naga mendominasi markas besar Naga Hitam.
Upi sangat berani membuat film bertema gangster di Indonesia. Ia juga tampaknya sudah melakukan research yang cukup mendalam tentang kehidupan geng-geng di pinggiran kota Jakarta, dan kehidupan di dalam penjara.
Namun tampaknya Upi melupakan beberapa komponen penting yang berpengaruh secara visual. Tata busana serta setting waktu yang tidak konsisten membuat kening berkerut. Kostum geng Naga Hitam yang cenderung bertema 70s-80s terasa sangat kontras dengan kostum geng Ale yang bergaya anak muda masa kini.
Selain hal-hal yang berkaitan dengan wardrobe, tampak pula beberapa editing yang jumping -- dan yang paling jelas adalah color tone pada menit-menit terakhir film yang sangat berbeda dengan tone di scene-scene sebelumnya lainnya.
Durasi film yang terlalu lama (135 menit) juga menjadi masalah. Banyak adegan-adegan drama yang diberi porsi terlalu banyak, sehingga pace berjalan lambat dan cenderung membosankan. Sebaliknya, adegan action nya cukup berhasil memacu denyut jantung dan menimbulkan efek yang sesuai.
Untuk soal akting, Vino tidak lagi diragukan kemampuannya. Dia memerankan satu karakter yang mengalami perubahan kepribadian dan menjiwainya dengan cukup baik. Fathir tak bisa dibilang maksimal, tapi tidak bisa dibilang jelek juga. Dallas, Dion dan Ali berakting standard dan tidak tergolong menawan. Hanya Reza Pahlevi yang cukup stand out di antara pendatang-pendatang baru lainnya. Memerankan tokoh Fatir yang bisu, Reza Pahlevi bisa mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikannya hanya melalui matanya.
Keterbatasan waktu dan dikejar-kejar deadline tampaknya menjadi momok terbesar bagi Upi. Ia berusaha menyajikan yang terbaik, tapi karena waktu yang tidak cukup membuat Upi melakukan beberapa kesalahan yang tidak semestinya. Yah, paling tidak Upi telah berhasil mewujudkan hasratnya untuk membuat film bertemakan gangster..
Wuahahaha, film ini membosankan dan cengeng! Benar-benar mengecewakan! serius deh, padahal ekspetasi gua akan film ini bagus, soalnya yang bikin upi. Namun, yaaaaah, karena kita tau film ini yang bikin cewek! pastilah ada adegan nangis, bukti nyata. Realita Cinta dan Rock n Roll, Radit dan Jani! Depannya aja sangar, eeeeeh ujung-ujungnya cengeng...
ReplyDelete6/10 buat film ini...
@Elligios : Emang loe bisa bikin Film...???
ReplyDeletemantep
ReplyDelete