Gengsi Itu Bernama Jazz


Tergelitik membaca suatu tulisan di sebuah koran dengan judul yang sama (tapi sayangnya sumber aslinya entah mengapa tak dapat dideteksi keberadaannya), saya tiba-tiba berpikiran untuk membuat tulisan mengenai perhelatan musik akbar, Java Jazz Festival 2010 yang baru saja berlangsung pada tanggal 5, 6, dan 7 Maret 2010 yang lalu.


Java Jazz Festival sudah berlangsung selama enam tahun, dan selama enam tahun itu pula, penggemar acara ini semakin bertambah berkali-kali lipat jumlahnya tiap tahunnya. Terbukti, di tahun ke-6 nya, Java Festival Production memindahkan lokasi awal JJF yang sedianya berada di JCC Senayan ke JIExpo Kemayoran, yang bisa menampung orang 5 kali lipat lebih banyak - menurut gosip yang beredar.

Ketertarikan saya sendiri terhadap Java Jazz muncul tahun lalu, ketika mereka mendatangkan idola yang sedang saya gandrungi, Jason Mraz, sebagai special show mereka. Apapun saya lakukan agar saya bisa melihat penampilan idola saya secara live, dan untungnya, hal tersebut dapat diwujudkan.

Berawal dari sana, saya kemudian jadi orang yang 'gila konser'. Saya bukan hanya datang ke Java Jazz, tapi juga menghadiri event JFP lainnya, Soulnation 2009 bulan Oktober lalu. Di sana, saya kembali membeli tiket untuk Java Jazz 2010, karena saya sangat suka ambience konser, terutama rasa kebersamaan dan semangatnya.

Namun belakangan (tahun ini khusunya, dan Java Jazz lebih khusus lagi), ada beberapa hal yang muncul ke permukaan. Seorang teman bahkan berkata, "Hari gini ga ngomongin Java Jazz? Ga gaul gitu loh.."

Dari kalimat di atas saya menangkap sebuah perbedaan dari apa yang saya tahu pada awalnya. Sebuah konser bukan lagi berisikan para penggemarnya saja, tapi juga berisikan para makhluk gaul yang tidak mau ketinggalan mode.

Hal tersebut kemudian didukung perkataan seorang teman lainnya beberapa waktu lalu, "Konser sekarang tuh udah jadi lifestyle."

Buktinya? Orang-orang datang ke JJF dengan gaya seperti mau ke mall, karena saya juga ingat seorang teman mewanti-wanti saya tahun lalu, "pake baju yg kerenan dikit.. Ini Java Jazz". Sebegitu penting nya kah penampilan, kalau memang yang diincar adalah musiknya?

Tahun ini, dengan booming-nya Twitter, "lifestyle" itu kembali dipertegas. Banyak yang komplein ketika mereka tidak bisa mendapat sinyal handphone di area JIExpo. Memang sih, banyak yang berdalih "sinyal" itu dibutuhkan untuk berhubungan dengan teman yang janjian ketemu, atau bahkan mencari teman yang terpisah di lokasi karena lautan manusia di dalamnya.

Tapi kenyataannya? Banyak dari yang komplein itu mengeluh karena mereka nggak bisa nge-twit. Update status twitter atau facebook dengan status-status macam: "Babyface keren gila!" Atau "Lagi ngantri John Legend di D2. Rame banget!" Atau "Ada Pak Presiden nonton Dianne Warren loh!" Hal-hal semacam itu yang menunjukkan keberadaan mereka di event prestisius ini.

Mengapa saya bisa berkata demikian? Loh, buktinya sudah ada. Lebih banyak orang yang lalu lalang di jalan atau di food area daripada yang ada di dalam hall menikmati sajian musik. Orang-orang yang ada di dalam hall pun tidak semuanya mendengarkan musiknya. Tidak sedikit dari mereka yang malah duduk berkumpul di pinggiran-pinggiran ruangan dan asyik dengan blackberry masing-masing, atau hanya sekedar mengobrol dan bergosip layaknya di mall. Lantas, masih beranikah para pengkomplein itu mengatasnamakan "butuh cari orang" dalam rangka jeleknya sinyal?

Terinspirasi Janji Joni, rasanya saya juga bisa mengklasifikasikan beberapa tipe penonton.
1. Penonton penikmat Jazz (penonton asli): 
Mereka dandan biasa saja, tidak berlebihan.. Biasanya mengincar musisi-musisi yang memang sudah mereka kenal dan kagumi musiknya. Mereka sudah punya jadwal siapa saja yang akan mereka incar.

2. Penonton pengikut tren (penonton palsu):
Mereka biasanya berdandan agak sedikit wah, seperti gaya-gaya mau ke mall. Datang sekelompokkan, pegang blackberry kemana-mana.. Seringan ngumpul di sudut-sudut atau di food area. Pasti foto-foto di "red carpet" atau foto membelakangi panggung untuk menunjukkan "gw pernah nonton ini loh!"

3. Penonton fotografer:
Penonton jenis ini biasanya pasti membawa peralatan tempur berupa kamera dengan lensa super panjang. Sangat sering ditemui di area depan panggung atau di bagian atas (jika ada tingkatan). Mereka bukanlah penggemar musik jazz (tapi tidak menutup kemungkinan kalau mereka juga penikmat), tapi mereka adalah para photo-hunter (atau media), dan konser adalah ajang photo-hunting yang sangat menarik, karena menegetes kemampuan dan juga bisa menghasilkan uang.

4. Penonton terpaksa:
Penonton jenis ini dandan tidak terlalu wah, dan mukanya biasanya kurang enak dipandang karena mereka memang terpaksa datang untuk menemani pacar atau saudara mereka. Biasanya mereka akan duduk-duduk saja (atau bahkan tiduran) ketika partner nya sedang menikmati musik.

5. Penonton dadakan:
Tidak memiliki persiapan apapun, tidak tahu apa yang mau ditonton, biasanya hanya mendatangi siapa saja yang kebetulan sedang tampil.

Oh ya, ada hal menarik juga yang saya dapat selama menonton Java Jazz 3 hari kemarin. Rupanya, penonton yang datang untuk menyaksikan band-band indie asal Indonesia (seperti EndahNRhesa, Maliq, RAN, Soulvibe, dll) atau penyanyi Indonesia lainnya itu lebih banyak dibanding yang datang untuk menyaksikan penampilan artis luar.

Hal ini bisa disebabkan oleh 2 hal:
1. Mereka memang cinta Indonesia
2. Mereka sama sekali (atau tidak begitu banyak) mengenal artis-artis luar yang tampil, kecuali beberapa nama yang sebenarnya bukanlah penampil jazz sesungguhnya.


Bagaimanapun bentuk penontonnya, dan bagaimanapun bentuk acaranya (karena Java Jazz juga tidak melulu membawa musisi jazz), kita tetap harus mendukung salah satu event musik terbesar di Indonesia ini.. Karena bagaimanapun juga, Java Jazz sendiri merupakan salah satu event musik jazz yang bergengsi dan diakui di tingkat internasional.

GO JAZZ!! :D

Comments

Popular Posts