Cultural Fitness
The beginning
Gue masih inget dulu ketika gue baru lulus kuliah, “udah” punya pengalaman satu setengah tahun kerja, gue songong. Gue kira gue bisa segalanya. Gue yang paling ngerti. Gue ngerasa paling pinter, paling jago. Gue ngerasa gue bisa dapetin kerjaan apa aja yang gue mau. Di perusahaan besar, di perusahaan terkenal. Gaji gede. Tapi pada kenyataannya, gue gagal berkali-kali. Gue gagal di setiap interview gue. Dan sedihnya, salah satunya adalah di perusahaan yang gue cukup pengen waktu itu.
Dari semua kegagalan itu, gue belajar. Gue belajar di mana salah gue, apa yang harus gue perbaiki, sambil mencoba mempercayai omongan tulisan-tulisan di hasil pencarian Google bahwa masing-masing orang punya tempatnya masing-masing. Semuanya cocok-cocokan. Perusahaan cocok sama karyawan, karyawan cocok sama perusahaan. Ada yang namanya “cultural fitness” dalam lingkungan kerja.
Tapi, selama setahun berikutnya setelah itu, gue masih sekedar berusaha percaya. Gue belum benar-benar percaya soal "keberadaan” cultural fitness. Waktu itu, gue masih berpikir bahwa, “mungkin gue belum cukup bagus untuk lolos kualifikasi perusahaan yang gue mau.” Mungkin.
Mungkin juga engga. Mungkin, “kultur” gue sebagai manusia — apa yang gue percayai, values-values gue, cara kerja gue — emang ngga cocok aja sama perusahaan itu. Dan sebaliknya. Makanya, pada saat itu gue belum berhasil mendapatkan “tawaran yang lebih baik” itu.
Memasuki tahun berikutnya, gue mulai dapet beberapa tawaran interview lagi. Gue coba, just for the sake of testing the water. Entah gue yang emang udah lebih baik atau gimana, gue berhasil. Interview after interview… tapi kali ini, giliran gue yang menjawab, “tidak”.
Gue mulai mempelajari kembali, apa yang membuat gue berhasil, apa yang membuat interviewer-nya tertarik sama gue, apa yang membuat interview-interview itu berkesan, dan apa yang membuat gue akhirnya memutuskan untuk menjawab “tidak”, walaupun bisa mendapatkan penawaran yang lebih baik itu.
The tipping point
Kemudian, gue mulai sering meng-interview orang. Tadinya gue di-interview, kini gue meng-interview orang juga. Gue menjadi seorang interviewer. Dan di situlah titik baliknya.
Semakin sering gue meng-interview orang, semakin gue sadar dan mengerti akan definisi “cultural fitness” yang sebelumnya hanya coba gue percayai itu tadi. Semakin sering gue meng-interview orang, gue sadar bahwa skill kemudian jadi pertimbangan no. 3 buat gue — dan mungkin juga buat orang-orang yang dulu meng-interview dan tidak menerima gue sebagai bagian dari tim mereka dulu.
Pertimbangan no. 1 adalah: cultural fitness.
Cultural fitness
Faktor paling penting yang membuat gue memutuskan akan meng-hire seseorang atau engga adalah apakah kira-kira orang ini akan cocok kerja di sini — kerja bareng gue, kerja bareng tim gue, kerja bareng tim lain, dan apakah mereka bisa beradaptasi dengan lingkungan baru ini — atau engga.
Hal ini berlaku dua arah. Sang kandidat juga harus merasakan kecocokan dengan interviewer-nya, dengan kultur perusahaannya. Apakah dia (kandidat) akan cocok kerja (atau bisa beradaptasi) sama orang kayak gitu (interviewer), kerja di perusahaan kayak gitu, atau engga. Kalo memang sang kandidat juga merasa dirinya tidak cocok berada di sana (atau tidak bisa beradaptasi), maka dia bisa berkata, “tidak”, walaupun perusahaan sudah memberikan lampu hijau pada sang kandidat.
Cultural fitness dan kemampuan adaptasi ini yang kemudian akan menentukan "hidup bekerja" lo. Apakah lo akan merasa stress dan suffering, atau bakal happy dan betah banget.
Ketika lo culturally fit (atau bisa beradaptasi) dengan perusahaan itu dan sebaliknya, maka most likely lo akan betah banget di sana. Lo akan happy. Se-tai-tainya kerjaan lo, lo akan tetep bisa enjoy menghadapi hari dan segala tekanan yang diberikan ke lo.
Tapi.. Kalo lo culturally ga fit (atau ga bisa beradaptasi), ga usah ngomong soal tekanan atau kerjaan banyak deh. Seminggu aja lo bisa bilang mau resign dengan alasan sekecil apapun.
A little bit tip
Saran gue sih, apapun kondisinya -- terutama bagi kalian yang sulit beradaptasi, selalu coba minimal 3 bulan. Jangan menyerah atau mengambil kesimpulan di sebulan pertama, karena sebulan itu ga cukup. 22 hari kerja bukanlah waktu yang cukup untuk menentukan apakah lo akan fit in di sebuah perusahaan atau engga. Sebulan pertama, jalanin aja. Lanjutin di bulan kedua dan ketiga, baru abis itu lo bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan, "gue cocok ga ya di sini? Apakah gue harus lanjut? Atau gue harus resign?"
Saran gue sih, apapun kondisinya -- terutama bagi kalian yang sulit beradaptasi, selalu coba minimal 3 bulan. Jangan menyerah atau mengambil kesimpulan di sebulan pertama, karena sebulan itu ga cukup. 22 hari kerja bukanlah waktu yang cukup untuk menentukan apakah lo akan fit in di sebuah perusahaan atau engga. Sebulan pertama, jalanin aja. Lanjutin di bulan kedua dan ketiga, baru abis itu lo bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan, "gue cocok ga ya di sini? Apakah gue harus lanjut? Atau gue harus resign?"
Dan lagi-lagi, hal ini harus berlaku dua arah. Lo sebagai karyawan melihat lo bakal cocok ga di perusahaan itu, sementara perusahaan (dalam hal ini bos lo), akan melihat apakah lo cocok untuk perusahaan itu atau tidak.
Jadi, buat kalian yang pengen betah di sebuah perusahaan, manfaatkan waktu interview sebaik-baiknya. Cari tau soal perusahaan, soal bos lo, dan juga orang-orang yang akan kerja bareng lo nanti. Karena bukan performance dan benefit doang yang akan menentukan seberapa lama lo akan bertahan di sebuah perusahaan, tapi juga cultural fitness.
Comments
Post a Comment