Pelarangan pemberian uang kepada pengemis, wajar kah?
"Perda Prov. DKI Jakarta No. 8 tahun 2007 menyatakan bahwa:
Setiap orang atau badan dilarang:
a. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil
b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil
Setiap orang atau badan yang melanggar dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua Puluh Juta Rupiah)."
Pertanyaannya sekarang, pantaskah pemerintah mengeluarkan peraturan itu? Yang ternyata, peraturan sebelumnya – yang sudah dibuat berpuluh-puluh tahun lalu – pada faktanya tak pernah dipenuhi oleh pemerintah sendiri?
UUD 1945 pasal 34 ayat 1 dengan jelas mengatakan: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Faktanya? Apa benar mereka dipelihara oleh negara? Sepertinya tidak.. Mereka ‘dipelihara’ oleh kita (para pemberi), atau ‘sesama’ mereka, atau para ‘penjahat’ yang bisa dibilang baik, tapi bisa dibilang jahat juga. Pemerintah? Sibuk memelihara diri sendiri.
Jadi, salahkah para pengemis itu mencari uang di jalan? Salahkah kita memberi mereka uang atas dasar iba? Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk membedakan besarnya pendapatan yang didapat oleh seseorang yang bekerja keras dan tidak, dan apakah pantas orang yang tidak bekerja terlalu keras itu diberikan uang?
***
Para pengemis bisa muncul dalam berbagai tampilan. Ada yang lumpuh, ada yang membawa anak, ada yang berpakaian lusuh, ada yang sudah tua renta, ada anak kecil, tapi ada pula pemuda-pemudi yang masih sehat jiwa raga nya.
Seperti salah satu slogan iklan mengatakan, “ga semua yang lo liat itu bener”, berlaku juga untuk para pengemis ini. Banyak dari mereka yang kita tahu hanya berpura-pura; pura-pura lumpuh, pura-pura tak bertenaga, pura-pura lusuh, dan lain sebagainya.
Simpati dan empati dari setiap orang berbeda, begitu juga aksi yang diberikan. Apakah mereka memutuskan untuk memberi para pengemis itu uang atau tidak, itu semua tergantung masing-masing pribadi. Dan reaksi yang ditimbulkan ketika muncul Perda DKI Jakarta No. 8 tahun 2007 pun berbeda-beda. Ada yang setuju, tapi ada pula yang tidak setuju.
Gue pribadi ga setuju. Karena gue betul-betul menjunjung tinggi UUD 45 pasal 34 ayat 1 itu – yang mana gue berharap bisa diwujudkan pemerintah – secepatnya. Tapi, tiba-tiba terpikirkan sesuatu oleh gue. Dan gue menganalisanya. Ini analisa gue.
*Data yang akan gue kasih adalah fakta hasil survey lapangan, di mana gue sendiri yang melakukan surveynya, sehingga keabsahan data dapat dipertanggung jawabkan.
Pengemis rata-rata sehari bekerja dua shift, pagi-siang dan sore-malam, tapi itu semua belum fix, tergantung kondisi pengemis. Selama dua shift itu, mereka bisa mendapatkan kira-kira Rp 20.000 sampai Rp 40.000 per harinya. Total waktu ‘kerja’ mereka dalam sehari mungkin sekitar 8 jam. Jika dilihat sepintas, pendapatan mereka sangat kecil bukan?
Tapi mari coba kita total jika mereka melakukannya selama 30 hari dalam sebulan.
Pendapatan minimal mereka dalam sebulan: 30 x Rp 20.000 = Rp 600.000
Pendapatan maksimal dalam sebulan: 30 x Rp 40.000 = Rp 800.000
Pendapatan tersebut memang masih di bawah UMR (Upah Minimum Regional) DKI Jakarta pada tahun 2009 ini, yaitu sebesar Rp 1.069.865. Tapi para pengemis ini toh tidak betul-betul bekerja, bukan?
Coba sekarang kita bandingkan dengan gaji para pembantu rumah tangga (PRT) yang baru. Gaji pembantu baru berkisar antara Rp 200.000 – Rp 300.000 (cmiiw). Gaji pembantu yang sudah agak lama bekerja dengan majikan yang sama (kurang lebih 5 tahun), berada di kisaran Rp 500.000 – Rp 800.000. (Oh ya, jangan samakan gaji pembantu dengan gaji suster / baby sitter, karena gaji suster / baby sitter jelas lebih tinggi dari gaji pembantu.)
Pembantu bekerja kurang lebih 12 jam sehari, waktu senggang kira-kira 2-3 jam sehari (terhitung waktu kerja 12 jam tersebut). Pekerjaannya pun meliputi: nyapu, ngepel, masak, nyuci, beres-beres rumah, dan berbagai kegiatan rumah tangga lainnya. Mereka bahkan terkadang mendapat ‘pekerjaan ekstra’ jika majikannya membutuhkan bantuan mereka.
Dengan pekerjaan yang jauh lebih ringan dan pendapatan lebih besar– hanya memasang tampang memelas sambil duduk atau keliling jalan raya beberapa kali – dibandingkan PRT, tidak heran kalau jumlah pengemis di Jakarta begitu banyak. Ga perlu kerja keras, jumlah duit sama bahkan lebih dari yang kerja keras.
Oh ya, belum lagi jika para pengemis itu hanya menjadikan mengemis sebagai ‘pekerjaan sampingan’ mereka. Karena dalam survey yang saya lakukan ke beberapa pengemis, rupanya para pengemis itu ada beberapa yang juga berjualan kue, atau bahkan jualan nasi goreng di tempat lain, dan mengemis hanya menjadi ‘sampingannya’ ketika sedang tidak mengerjakan pekerjaan primernya. Ada pula yang menjadikan mengemis hanya untuk membantu suaminya, yang juga bisa bekerja sebagai pedagang, buruh, kuli bangunan, dan lain-lain.
Dan bukan rahasia lagi kalau para pengemis itu (terutama anak-anak), sebetulnya memiliki ‘bos’ yang mengumpulkan uang dari mereka. *system pembagian jatah ini belum sempat diteliti, sehingga tidak bisa dilanjutkan, daripada salah info :D
Sekarang, mari berpindah ke para joki 3in1. 3 in 1 hanya berlaku dari pukul 7 pagi sampai pukul 10 pagi, dan pukul 4 sore sampai pukul 7 malam. Total jam 3in1 adalah 6 jam. Dan 3in1 hanya berlaku dari hari Senin-Jumat, sehingga total hari 3in1 dalam 1 bulannya adalah sekitar 20 hari. Masing-masing, maksimal mobil yang bisa mereka ‘tumpangi’ adalah 3 mobil, dan minimal 2 mobil. Uang yang diberikan kepada para joki ini rata-rata Rp 15.000. ongkos untuk kendaraan umum yang mereka butuhkan kira-kira Rp 20.000 per hari.
Mari kita hitung pendapatan para joki 3in1 ini.
Minimal:
· Pemasukkan/shift: Rp 15.000 x 2 mobil = Rp 30.000
· Ongkos/hari: Rp 3500 x 2 kali = Rp 7.000
· Pendapatan bersih: Rp 23.000/shift
· Pendapatan sehari: Rp 23.000 x 2 = Rp 46.000
· Pendapatan per bulan: Rp 46.000 x 20 hari = Rp 920.000
Maksimal:
· Pemasukkan/shift: Rp 15.000 x 3 mobil = Rp 40.000
· Ongkos/hari: Rp 3500 x 3 kali = Rp 10.500
· Pendapatan bersih: Rp 29.500/shift
· Pendapatan sehari: Rp 29.500 x 2 = Rp 59.000
· Pendapatan per bulan: Rp 59.000 x 20 hari = Rp 1.180.000
Wow! Pendapatan maksimal yang bisa mereka dapat sudah di atas UMR, dan mereka hanya duduk anteng di mobil, kemudian balik ke pangkalan mereka. Jelas, mereka tidak membutuhkan tambahan pekerjaan lain jika mereka sudah menjadi joki 3in1, dan kebutuhan sehari-hari mereka telah terpenuhi.
***
Gue membeberkan data-data ini bukan bertujuan untuk mendorong kalian untuk tidak memberikan uang pada para pengemis tersebut. Malah sebaliknya, karena walaupun gue disodorkan fakta seperti ini oleh diri gue sendiri – yang sebenarnya bisa membuat gue kehilangan rasa iba – ternyata gue tidak terpengaruh. Gue justru malah mau kasih liat kenyataan yang ada. Para pengemis yang kita kira pemalas, ternyata ga semuanya seperti anggapan kita.
Lagian, selain kemudahan mendapatkan uang, kerugian yang mereka dapat lebih banyak. Para pengemis atau joki 3in1 ini tidak mendapatkan keamanan dan kepastian hidup. Mereka bisa saja sewaktu-waktu digiring SATPOL PP. kondisi tempat tinggal mereka pun kita tidak tahu seperti apa. Bagaimana dengan kondisi kesehatan mereka? Belum lagi image buruk ‘pemalas’ yang acap kali melekat pada diri mereka, apalagi pada pengemis yang masih muda dan bugar.
Beramal itu ga ada salahnya kok. Dan yang jelas, Perda konyol itu ga akan gue turuti. Selama pemerintah belum memenuhi ‘janjinya’ yang tertuang dalam dasar negara kita, Perda itu akan gue anggep ga ada. Selama kita merasa memberi kepada orang yang tepat dan membutuhkan, itu semua pasti berguna kok untuk orang tersebut.



Comments
Post a Comment