[SHORT STORY] Valentine's Date?

Pic source: www.wallsave.com

"Jumat besok ketemuan yuk. Pake baju yang bagusan dikit ya."

Hmm.. Jumat besok kan... Valentine's Day?

Aku terdiam sejenak. Apa ya maksud anak ini tiba-tiba “mengajakku” keluar makan bersama? Hanya aku kah yang diajak? Atau....

"Hah? Emang baju gue biasanya ngga bagus gitu jadi menurut lo?"

"Yeh.. Ni anak dibilangin susah amat.. Dandan cakepan dikit, udeh."

"Emang mau ke mana sih kita?"

"Mau tau aja apa mau tau banget??"

"Oemji that was so last year! Jadi kita berangkat bareng apa gimana?"

"Iya, ntar kabar-kabaran aja"

Aku belum tau apa itu, ke mana dia akan mengajakku, apa tujuannya, dan apakah aku harus ge-er atau tidak. Tapi melihat dari reaksiku, kalian pasti tahu kan, itu bukan ajakkan biasa. Itu ajakkan dari seorang pria yang punya tempat spesial di hatiku. Seorang pria, yang walaupun segala keburukannya telah kuketahui, aku tetap menyukainya. Seorang pria, yang biasanya hanya memberiku harapan, tapi tak pernah melakukan tindakan nyata, hingga tadi itu.

***

Aku terbangun esok paginya, dan menerima sebuah BBM darinya.

“Eh besok Jumat jadi nih ya?”

“Iyaa..”

“Gue ajak cewe gue apa? Hahaha..”

Apa-apaan ini? Kemarin dia membuat hatiku berbunga-bunga, kini dia cabut semua bunga itu dan tak menyisakan sedikit pun warna di taman hatiku?

“Terserah lo aja..”

Read, but not replied.

Hatiku hancur.

Dua jam kemudian, sebuah BBM masuk lagi darinya..

“Kalo lo ga mau ya gapapa..”

“He? Ga mau? Ga mau apa maksudnya?”

“Hahahaha.. Kalo lo cuma mau kita beduaan aja.. :”}”

Anak ini apa-apaan sih..

“I don’t mind kok.. Really.. :)”

“Hahaha.. Oke, gue atur aja lah ya nanti kalo gitu..”

What the hell was that supposed to mean?

Aku berusaha tenang dan mencerna sepotong pesan yang menggantung itu. Aku tak mengerti maksudnya. Aku berusaha mengerti, tapi aku tak kunjung paham.

Beberapa hari itu, aku tak bisa berkonsentrasi. Aku tak bisa bekerja. Tidak ada satupun to do list-ku yang berhasil kuselesaikan. Pikiranku dipenuhi oleh ajakannya serta BBM absurdnya itu. Mengapa ia melakukan ini padaku? Mengapa ia memberiku secercah harapan, kemudian menghempaskannya dalam waktu singkat, dan membangkitkannya kembali beberapa detik kemudian?

Aku tak tahan. Sudah terlalu lama aku menahan perasaan tak berujung ini. Waktu yang cukup lama yang membuat aku tak bisa membukakan pintu hatiku untuk orang lain selain dirinya. Terlalu lama aku harus bercemburu buta walau aku bukan miliknya dan dia bukan milikku. Terlalu lama aku harus bersandiwara agar perasaanku tak terdeteksi olehnya. Untuk apa?

Aku harus mengakhiri semuanya, take it or leave it. Sudah cukup rasanya aku dipermainkan olehnya.

Atau mungkin, malah ini saatnya aku mengikuti permainannya?

***

Kami akhirnya janjian bertemu langsung di tempat tujuan yang ternyata adalah sebuah restoran di daerah Gatot Subroto. Dan aku tiba di restoran itu lebih dulu darinya. “Sori, gue bakal telat 15 menitan,” katanya di BBM tadi. Aku melihat daftar pesanan, mempersiapkan hati yang sudah mulai berdetak tak keruan, dan menanti kehadirannya, melihat apakah ia membawa "monyetnya" atau tidak.

Ah, itu dia.

Hmm. Tidak ada orang di sampingnya. Berarti ia hanya sendiri, dan kami hanya berdua. Perfect.

“Eh sori ya.. Udah pesen belom?” katanya, dan langsung duduk.

“Belom kok, masih liat-liat aja.. Cewe lo ga jadi diajak?” kataku memancing.

“Iya, lagi ga bisa dia.. Yaudah deh yuk, pesen aja.. Lo pernah makan di sini belom sebelumnya?”

“Belom kok.. Pengennya sih nanti, pas ultah gue, katanya Mike Lewis bakal bawain kue buat yang ulang tahun lhoo..” kataku mencairkan suasana.

Dia tertawa, “Kalo gue yang bawain gimana?”

“Err.. Bolehhhh.. Tapi Mike Lewis nya bawain juga ya.. Hahahahaha..” kataku mencoba mengikuti permainannya.

“Panggil pelayan yuk?” Aku pun mengangguk.

Sambil menunggu pesanan datang, aku dan dia mengobrol santai, tentang sebuah ide bisnis yang sempat kusinggung beberapa waktu lalu di BBM. Ia kemudian menceritakan pengalamannya, dan memberiku beberapa wejangan. Khas dia sekali.

Hingga akhirnya makanan pun tiba. Kami makan, sambil mengomentari makanan itu juga. Ucapan, “apaan nih? Biasa banget rasanya.. Idola lo gimana sih nih..” tentu saja beberapa kali terdengar darinya. Aku? Mengikuti dan ikut tertawa bersamanya.

“Mau pesen dessert-nya ga?” tanyanya.

“Ngga deh, gue kenyang..”

“Ah sok kenyang lo.. Gue pesen, entar kita makan berdua deh ya?”

Aku mengangguk saja, mengiyakan. Ia tampak masih lapar soalnya.

Setelahnya, kami membicarakan beberapa hal ringan lagi, seputar film, pekerjaan, hingga kehidupan kami sekarang. Semuanya berjalan lancar. Tapi ada satu yang belum keluar. Dialog-dialog yang sebenarnya sudah mendekam di kepalaku dan sudah kurencanakan sejak beberapa hari yang lalu. Dialog-dialog yang semestinya menjadi jawaban atas pertanyaan dan kegalauanku selama ini. Tapi mengapa lidah ini rasanya kelu? Mengapa aku jadi seolah tak bisa berbicara dan mengeluarkan kata-kata?

“Eh, mau nambah apa lagi ga?” tanyanya.

“Ngga ah. Lo?”

“Ngga juga. Udahan apa? Gue minta bon ya..”

Begini saja kah? Kapankah rentetan dialog ini akan keluar?

Aku mengeluarkan dompet ketika pelayan akhirnya datang dan membawakan bon.

Tiba-tiba ia menahan tanganku dan berkata, “Udah, biar gue aja yang bayar.. It’s on me..” katanya seraya memberikan sejumlah uang pada pelayan.

“Is it a date?” tanyaku spontan.

Ia terlihat diam sejenak, sebelum kemudian menjawab, “let’s call it a date, then..” katanya sembari tersenyum.

Aku tak kuasa untuk menahan emosi dan kepura-puraanku lagi saat ini.

“Why now?” tanyaku memulai.

“Hah? Kenapa apa?”

“Why now? Why me?”

“Hah? Maksudnya?” Ia tampak kebingungan.

“Setelah sekian lama, kenapa lo baru ajak gue pergi sekarang... dan, kenapa gue? Biasanya lo ajak si Bella atau Okta atau Sari..”

Ia diam.

Aku melanjutkan. “Lo bikin gue bingung.. Mau lo apa sebenernya?”

Ia masih diam.

“I wish you stopped at ‘gue ajak cewe gue apa ya?’, karena dengan begitu gue tau kalo lo udah nutup pintu hati lo buat gue, and that’s it. Tapi dengan kalimat lanjutan lo ‘apa lo mau kita beduaan aja?’ plus that shitty blushing emoticon, itu kayak lo udah tutup pintu lo, tapi ngga lo konci. Bahkan lo biarin mangap dikit supaya bisa gue intip dan gue buka lagi dengan mudahnya.” kataku sambil berusaha keras untuk menahan volume suaraku agar tidak terlalu keras dan menjadikanku tontonan seisi restoran, juga agar air mataku agar tidak turun semakin deras.

Dan sialannya, ia masih diam. Ia hanya mengamatiku terus. Mukanya datar, tak tertebak.

“Will you say anything?” tanyaku akhirnya, sambil menghapus air mataku.

“Kita keluar aja yuk. Omongin di luar. Jangan di sini.” Katanya akhirnya.

Ia kemudian bangkit dari kursinya, dan menghampiri kursiku, bersiap untuk menariknya. Tapi aku sudah bangkit terlebih dahulu, dan langsung beranjak keluar restoran.

“Masuk ke mobil gue yuk,” katanya lagi.

Aku mengikutinya, dan duduk di kursi penumpang. Masih diam, mencoba untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Kini saatnya aku menunggu jawaban darinya.

Ia duduk di belakang kemudi, tapi tidak menyalakan mesin. Ia diam, memegang erat kemudi dan memandang lurus ke depan.

Hening untuk beberapa saat.

Dan masih hening hingga aku tenang tanpa setetes air mata lagi pun keluar. Hening hingga bahkan nafasku pun tak lagi bersuara. Hening, hingga bahkan tetesan keringat yang mulai mengucur dari keningku pun tak terdengar. Hening, hingga akhirnya aku berkata, “Lo kayaknya ga mau ngomong apa-apa ya. Yaudah, gue turun aja ya.. Gue balik.. Thanks buat traktirannya ya..” dan aku pun langsung membuka pintu mobil.

Tiba-tiba ia menarik tanganku hingga aku langsung berbalik menghadapnya, dan mengecup bibirku.

“Kering amat sih. Udah lama ga dicium ya? Hahahaha” katanya berusaha mencairkan kekakuan, lalu kembali melayangkan pandang ke jalanan di depan kaca pengemudi.

Aku diam. Aku kaget. 

Ia menarik nafas, kemudian berbalik menghadapku, masih tersenyum. Dengan aku yang terdiam membisu.

“I’m sorry I made you cry. I’m sorry kalo gue baru ngajak lo sekarang. I’m sorry for everything I did that bugs you. It has never been my intention to do so.” Ia diam sejenak. “Gue juga sedang mencoba mencari jawaban. Gue sedang menyusun perasaan gue dan menemukan apa yang sebenarnya gue rasakan. Gue... mencoba memahami apa yang gue rasakan ke elo.” Mukanya kini serius. “Bukan cuma lo doang yang bingung. Gue juga. Gue bingung, karena kadang lo baiiiikk banget sama gue. Kadang gue juga merasa lo memberi perhatian lebih ke gue dibanding ke temen-temen cowo lo yang lain. Tapi, kadang juga gue ngerasa lo... memperlakukan gue ga lebih dari temen-temen cowo lo yang lain. Gue jadi ngerasa sama kayak mereka..”

Ia tersenyum, kemudian memegang tanganku. “Sori ya.. Makanya terus gue ngetes lo beberapa kali.. Termasuk soal cewe gue saat gue ngajak lo kemaren,” katanya sambi tertawa. “Tapi ternyata, gue ngetes pun reaksi lo biasa aja.. Gue jadi makin bingung.. Gue makin ga yakin.. Ga yakin soal apakah lo mempunyai perasaan yang sama ke gue apa engga..”

“Lo selalu ada di samping gue, lo selalu ada di saat gue membutuhkan, lo selalu siap membantu gue. Tanpa gue sadari, gue... Butuh elo.”

Kini ia hanya diam memandangiku. Aku pun hanya diam memandanginya. Aku bingung mau bicara apa. Jujur, aku tak tahu harus merespon apa terhadap “pernyataan cintanya” ini.

“Now, will you say anything?”

“I don’t know what to say...”

Rasanya... Aneh. Di satu sisi, ada beban yang terangkat dari jantungku, dan aku bisa bernafas dengan lebih leluasa. Aku sebetulnya senang karena ternyata perasaanku bersambut. Tapi di sisi lain, aku pun bingung... Aku... tidak bisa melihat masa depanku bersamanya. Aku... tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku jika bersamanya.. Aku...

Mungkinkah aku hanya penasaran?

“Will you marry me?” tanyanya tiba-tiba.

Sontak, aku mendongak dan menatapnya dengan terkejut. “What?”

“Will you marry me?” katanya lagi, mengulang ucapan yang sebenarnya kudengar jelas sebelumnya.

“Ren.. Kita bahkan baru kali ini ngobrol dari hati ke hati, and you just asked me to marry you?” tanyaku tanpa menyembunyikan kekagetanku.

“Gue rasa kita udah mengenal cukup lama, you know me and I know you. And we’re old enough..”

“Ya, but this is not how it works!”

“How does it work?”

“Ya.. Kita pacaran dulu, saling mengenal lebih lagi, dan baru kemudian kita memutuskan akan menjalani hidup bersama atau tidak.”

Ia tertawa, “what’s the point of pacaran kalo akhirnya kita nikah juga?”

“I’m serious. I like you, I really do, but I barely know the real you!”

“What do you mean you don’t know the real me?”

“Gue ngerasa selama ini lo masih menyembunyikan beberapa hal.. Gue ngerasa selama ini lo belom jujur.. Gue ngerasa... Masih ada tembok tak terlihat di antara kita..”

Ia kembali memegang kemudi dan menatap jauh ke depan.

Hening selama 10 menit, kemudian ia berkata, “So?”

“I can’t do this, Ren. I can’t say ‘yes’ eventhough I want to.”

“Why?”

“Because we haven’t known each other that well! That’s why!” seruku setengah berteriak.

“Okay then,” katanya akhirnya.

Aku menarik tangannya dari kemudi, memegangnya, lalu berkata, “Kita coba dulu ya?”

Ia mengangguk ringan.

“Oke, gue balik ya.. Thanks a lot for tonight..” kataku sembari tersenyum dan tak kuasa untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanannya, lalu membuka pintu dan keluar dari mobilnya.

***

This story was actually made about a year ago but I postponed it for so long, hahaha.. Now I thought it's the right time to publish it, since today's Valentine's Day, so I wanna celebrate it by giving you a "love story". Happy Valentine's Day! :)

Pic source: www.jroseintegrativetherapy.com

Comments

Popular Posts