Film Indonesia: Anak Tiri di Negerinya Sendiri
Keputusan MPAA untuk menghentikan penayangan film Hollywood di Indonesia karena diberlakukannya pajak terhadap hak distribusi film impor, mendapat respon dari banyak pihak, baik dari pihak bioskop, sineas tanah air, dan tentunya, para penonton film -- yang semuanya menuntut dicabutnya peraturan aneh tersebut supaya film asing (terutama Hollywood) dapat kembali ditayangkan di Indonesia.
Dari diskusi-diskusi yang terjadi di situs-situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, serta tulisan-tulisan di media massa, munculah beberapa dugaan terkait kondisi yang meresahkan ini.
Banyak penonton awam pecinta film asing yang berpikir bahwa ini adalah upaya pemerintah untuk secara tidak langsung 'memaksa' para penontonnya menonton film Indonesia yang dinilai masih sangat kurang berkualitas (baca: jelek semua).
Ada juga dugaan yang menyatakan bahwa ini lagi-lagi adalah masalah politis, terkait dengan isu monopoli Grup 21, dan akan ada 'sosok baru' yang akan 'menghapus' monopoli tersebut. Karena seperti yang kita ketahui, kasus ini mendapat respon paling keras dari Noorca M. Massardi, juru bicara Grup 21, yang berperan sebagai exhibitor sekaligus distributor untuk film-film MPAA, yang tentunya akan mendapatkan kerugian ganda atas diberlakukannya pajak ini. Bioskop tentunya akan kehilangan sumber pemasukan, dan bisa-bisa mereka akan gulung tikar.
Saya sendiri merasa tidak cukup kompeten untuk berbicara mengenai persoalan pajak. Tapi berdasarkan hasil membaca sana-sini, saya melihat bahwa dasar diberlakukannya pajak terhadap hak distribusi film impor ini memanglah kurang masuk di akal.
Karena jika dibilang ingin melindungi sineas dalam negeri, mengapa para pembuat film ini juga ikut menyatakan keberatannya terhadap peraturan baru ini? Karena memang benar, jika pendapatan bioskop berkurang karena tidak ada penonton yang menonton di bioskop, maka bioskop tersebut bisa tutup, lalu dari segi mana nya itu bisa membantu film Indonesia? Mau ditayangkan di mana film-film nasional kita?
Kemudian belakangan malah muncul berita yang menyatakan bahwa pencabutan hak tayang ini justru disebabkan karena pihak importir tidak bisa melunaskan hutang pajaknya sebesar Rp 30 Miliar. Mana yang benar, belum ada konfirmasi yang jelas dari kedua belah pihak.
Namun yang membuat saya tergelitik dan akhirnya memutuskan untuk mengutarakan pemikiran saya lewat tulisan ini adalah, mengapa film Indonesia sendiri yang akhirnya dijadikan tumbal oleh warganya? Dihina-hina dan disalahkan atas tertutupnya peluang mereka untuk menonton film asing?
Jujur, saya benci ketika ada orang yang mengata-ngatai dan mengeneralisasi film Indonesia sebagai film yang buruk dan tidak berkualitas, film Indonesia adalah film horor esek-esek, dsb dsb. Hey, lantas, apa itu Laskar Pelangi? Apa itu Ayat-Ayat Cinta? Apakah itu bukan film Indonesia??
Kalau faktanya film Indonesia yang banyak terdengar adalah film-film horror bokep, itu salah kita sendiri. Kita yang telah memberi vonis kepada diri sendiri bahwa kita mengidap penyakit yang tidak mampu melihat sesuatu secara objektif – menilai film Indonesia secara spesifik. Kita yang telah menutup hati dan pikiran Anda terhadap sesuatu yang berbeda, hanya karena mayoritas orang berkata bahwa film Indonesia itu jelek, maka supaya tidak lari dari arus pasar, maka kita pun mengikuti pendapat pasar yang belum tentu semuanya benar itu.
Lagipula, kalau mau diteliti, kenapa sih sebenarnya justru malah film-film jelek itu yang bisa menangkap perhatian kita? Karena, lagi-lagi, kita sendiri lah yang memutuskan hal itu. Karena tidak bisa dipungkiri, manusia pada dasarnya adalah makhluk yang penuh nafsu, penuh rasa penasaran. Melihat poster beradegan buka-bukaan sedikit, melihat nama bintang porno, kita langsung tertarik untuk melihatnya. Hasilnya? Film-film yang berbau esek-esek tersebutlah yang paling banyak diminati. Sementara film yang sebenarnya bagus tapi tak mengandung bau-bau porno ataupun artis bokep, malah tak mengundang penonton untuk membeli tiket.
Saya ga munafik. Saya pada awalnya adalah satu dari sekian banyak orang itu. Saya ingat, dulu, ketika kelas 1 SMP diajak seorang teman menonton film yang sangat ngehits waktu itu, Eiffel I'm in Love, di Plasa Senayan, saya sangat malas. Mengapa? Itu film Indonesia, nanti juga muncul di TV, dan ternyata filmnya jelek. Untuk apa saya membuang-buang uang sebanyak Rp 50.000 untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya untuk saya? Sejak saat itu, saya tidak mau lagi menonton film Indonesia di bioskop. Rugi.
Tapi hal itu berubah di akhir tahun 2008. Ada sebuah film festival (INAFFF) yang menjadikan sebuah film Indonesia berjudul Takut: Faces of Fear, sebagai film pembuka dari festival tersebut. Melihat trailernya, saya kepingin sekali menonton film itu. Tapi sayang, nggak kesampean, saya akhirnya nonton di DVD, 2 tahun setelahnya.
Lalu, masih di tahun dan event yang sama, saya kembali menyaksikan sebuah trailer film yang membuat saya berkata kepada teman saya, "Eh! Nonton ini yuk nanti! Keren kayaknya! Dan nama Joko Anwar kayaknya gue sering denger deh!". Ya, film itu adalah Pintu Terlarang, dan kali ini, saya berkesempatan untuk menontonnya di layar lebar.
Setelah pengalaman pertama setelah sekian tahun itu, mata saya terbuka. Saya jadi sadar bahwa, "hey! Nggak semua film Indonesia jelek lho!" Dan sejak saat itu, saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih banyak lagi menonton film Indonesia. Dimulailah pencarian saya di tempat rental, dengan meminjam judul-judul yang saya dengar mendapat pujian dan memenangkan penghargaan-penghargaan. Semakin banyak pula lah saya menemukan film-film Indonesia yang bermutu tinggi. Dan hal ini berlanjut hingga sekarang. Sampai-sampai tahun lalu saya mendapat bbm dari teman yang mengajak saya nonton Eiffel I'm in Love waktu itu, dan dia bertanya, "lo sekarang demen nonton film indo ya, ni? Bukannya dulu lo benci banget?"
Ketika penonton memutuskan untuk menonton film horor esek-esek berbujet rendah, maka pihak pembuat film akan senang. Mengapa? Karena film super low bujetnya itu dengan mudahnya akan menghasilkan keuntungan besar, walaupun disertai dengan caci maki pihak lain yang mengatasnamakan dirinya "pengangum film bagus". Tapi, so what gitu lho? After all, business is business, right?
Sementara film yang benar-benar berkualitas, malah sama sekali tidak mendapat publisitas yang cukup, karena penontonnya pun lagi-lagi telah menutup mata terhadap film-film berkualitas nasional. Yang mereka tahu film bagus hanyalah film yang disadur dari novel best seller, sementara film lain yang juga sebenarnya bagus tapi bukan berangkat dari novel best seller pun harus mendapat rugi karena kekurangan penonton.
Sekarang, salah siapa sampai film Indonesia harus menerima stigma negatif? Salah penontonnya kah? Salah pembuatnya kah? Atau malah salah film asing? Saya merasa semua pihak menyumbang porsi yang sama atas masalah ini. Dimulai dari pembuat film asal-asalan yang telah menodai genre horor hingga menimbulkan generalisasi di kalangan penonton yang kemudian memvonis bahwa film Indonesia jelek, dan lalu membandingkannya dengan film-film asing yang selalu dinilai sebagai film berkualitas, walau dalam kenyataannya tidaklah demikian. Film asing juga sama seperti film Indonesia, ada yang bagus, ada yang jelek. Tapi film asing bernasib baik, ia tidak mendapat stigma buruk seperti yang diterima film Indonesia.
Memang, jumlah film Indonesia yang baik masih kalah banyak dibanding yang buruk, apalagi beberapa tahun belakangan ini. Tapi film Indonesia juga tak akan mampu bangkit jika tidak mendapat dukungan dari penontonnya. Mereka butuh ditonton, karena dengan menonton film Indonesia berkualitas (yang bukan hanya based on novel), maka akan banyak orang yang tertarik untuk menyesponsori film-film tersebut, mengapa? Karena mereka tahu, film bagus tersebut bisa membawakan keuntungan untuk mereka, karena penontonnya banyak. Tapi jika film-film bagus tersebut tidak ada yg menonton, maka para investor tersebut enggan menyesponsori film bagus tersebut, dan lebih memilih untuk mendanai film esek-esek bermodal kecil namun menjanjikan keuntungan besar. Alhasil, film esek-esek pun semakin menjamur, dan stigma buruk itu pun tak akan pernah menghilang dari wajah perfilman Indonesia.
Semua orang bisa berubah.
Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.
Begitu pula film Indonesia.
Berilah kesempatan padanya untuk menunjukkan dirinya yang sesungguhnya.
Dan dukunglah hal itu.
Comments
Post a Comment